PERMUKIMAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
KAMPUNG PAHANDUT, KOTA PALANGKARAYA
Noor Hamidah
Staf Pengajar Program
Studi Teknik Arsitektur Universitas Palangkaraya
Abstrak
Pembangunan berkelanjutan ialah
peningkatan kualitas hidup manusia dan menjamin kehidupan yang berkelanjutan.
Pembangunan kota terfokus pada perubahan lingkungan, namun belum menyentuh
pembangunan manusia dan lingkungan permukimannya. Perkembangan tanah untuk
lahan bermukim hanya mengikuti mekanisme pasar, seperti permukiman di Kampung
Pahandut, Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya. Permukiman
ini berkembang sejak tahun 1894 yaitu merupakan perkampungan penduduk Dayak Ngaju. Kegiatan masyarakat Dayak Ngaju ialah petani ladang
berpindah di sepanjang sungai Kahayan. Sungai
berfungsi antara lain: transportasi, tempat bermukim, mata pencaharian “pasha
mandulang” (tambang emas dan intan), dan fungsi sosial budaya. Kelurahan
Pahandut awalnya sebuah kampung kecil, kini berkembang pesat menjadi pusat
pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Penelitian ini bertujuan
menganalisa permukiman berkelanjutan berwawasan lingkungan di Kampung Pahandut
Kota Palangkaraya. Metode penelitian menggunakan metode gabungan (mixed use method) antara kualitatif dan
kuantitatif. Analisa penelitian mengacu pada teori permukiman (human settlement theory) yaitu menganalisa
empat aspek permukiman antara lain: alam (nature),
lindungan (shell), jaringan (network), dan manusia/masyarakat (man). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keempat aspek permukiman tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan.
Cara hidup masyarakat Dayak Ngaju tanggap pada kelestarian lingkungan dan budaya gotong royong dalam di lingkungan
permukiman.
Kata kunci: permukiman,
pembangunan berkelanjutan, lingkungan
PENDAHULUAN
Permukiman sebagai suatu wadah atau suatu wujud fisik budaya
saling mempengaruhi dengan isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami
sebagai tempatnya. Ada 2 aspek penting mengenai isi dan lingkungan alami yang
perlu dipahami dari permukiman Indonesia, yaitu pertama, isi meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua, lingkungan
alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial Geografi keruangan didalamnya telah mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya
perubahan sosio-ekonomi. (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).
Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang
merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang
membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300
suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 Propinsi dengan
keaneka-ragaman sifat lingkungannya dan
terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih
berorientasi dan mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui
sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai, seperti
masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu di Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992).
Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam
merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan
alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang
tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan
kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam
keaneka ragaman sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan
pertumbuhan tinggi sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari
suku-suku terasing dan kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh
oleh perubahan. Kemampuan permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan
perkembangannya akan memiliki makna berbeda karena tempat yang berbeda.
(Indonesia Heritage, 1992).
Tautan lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik
ini merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud
permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman
tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di
daerah aliran sungai karena akses transportasi. Akses daerah aliran sungai merupakan
karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya
suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.
Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia
yang memiliki banyak anak sungai dengan muaranya adalah sungai Kahayan.
Tipologi mayoritas masyarakatnya bermukim dan menggantungkan hidup pada sungai.
Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai
tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat
besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota
Palangka Raya dikenal dengan sebutan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya
1999-2009).
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian yang ingin dicapai, yaitu:
Identifikasi studi pola
sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik dari kawasan kota tepian sungai. Studi pola sirkulasi dan pola ruang kawasan tepian sungai
sebagai upaya konservasi eko-wisata tepian sungai di masa mendatang. Berdasarkan tujuan di atas, manfaat penelitian ini ialah:
1. Untuk mengenal wujud pola sirkulasi kawasan tepian Sungai Kahayan dan merekomendasikan
modal pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik sebagai wisata sungai.
Model pola sirkulasi bermanfaat membuka akses menuju ke kawasan pelestarian arsitektur bangunan tua dan menuju wisata
tepian sungai sebagai aset andalan Kota Palangkaraya di masa mendatang.
2. Untuk mengenal wujud arsitektur kawasan tepian sungai
dan merekomendasikan menjadi kawasan andalan wisata arsitektur bangunan tua melalui
kajian bentuk hunian kawasan tepian
Sungai Kahayan, sehingga mendapatkan gambaran potensi pengembangan konsep pola
bentuk hunian yang akan di Konservasi di kawasan Tepian Sungai Kahayan Kota
Palangkaraya.
METODE
PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan
metode penelitian ekplorasi kualitatif lapangan (A qualitative Exploratory Research) berdasarkan ekplorasi data
lapangan (field observation) nilai
historis kawasan melalui survei, wawancara dan identifikasi potensi kawasan
tepian Sungai Kahayan. Kawasan yang menjadi kasus penelitian adalah potensi
transportasi sungai dan pola sirkulasi tepian sungai Kahayan Kota Palangkaraya.
Data-data dikumpulkan melalui literature
review dan pengamatan lapangan (field
observation) atas aspek fisik lingkungan buatan yang mendukung potensi
transportasi sungai antara lain: sarana transportasi sungai (jalan, titian,
jembatan), dermaga dan pelabuhan serta rumah tinggal. Selanjutnya data
dianalisis dengan metode komparasi dan deskriptif-interpretatif berbagai aspek
kehidupan.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi
pada kawasan permukiman informal tepian sungai Kahayan Provinsi Kalimantan
Tengah (Gambar 2). Sungai Kahayan ialah sungai yang memiliki panjang 450 m2
dan lebar 100m2. Luas Wilayah administratif Kota Palangkaraya 2.400
km² lahan terbangun ± 226,67 km² dengan jumlah penduduk ± 210.600 jiwa (56.000
KK). Batas administrasi meliputi: 1) Utara: Kabupaten Gunung Mas; 2) Selatan:
Kabupaten Pulang Pisau; 3) Timur: Kab. Gunung Mas; dan 4) Barat: Kabupaten Katingan.
Kajian empirik kawasan permukiman
informal ini berada sepanjang tepian sungai Kahayan dalam lingkup Kota
Palangkaraya. Lokasi penelitian ialah pada tingkat Kelurahan akan diambil
sampel model per RW sebagai sampel pola sirkulasi kawasan.
Sungai Kahayan merupakan sungai
besar yang awal mulanya merupakan jalur transportasi antar kota maupun daerah
di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, sungai tersebut masih berfungsi sebagai
penghubung ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau jalur jalan darat.
Sungai-sungai di Kalimantan Tengah termasuk Sungai Kahayan merupakan sarana
transportasi yang dominan dan sungai sebagai urat nadi perekonomian daerah.
Kawasan Bantaran Sungai Kahayan ini pada musim tertentu seperti pada musim
hujan akan terlihat seolah-olah berdiri diatas air (terapung). Pada musim
kemarau, kawasan permukiman ini akan terlihat berdiri di atas daratan. Kondisi
eksisting ini merupakan keunikan yang terdapat di kawasan selain pola
permukiman juga pola sirkulasi yang berbeda pola sirkulasi Jalan titian kayu (wood bridge), Jalan tanah (unpavement) dan Jalan cor beton
memiliki variasi lebar 2 – 3 meter.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Pola dan Struktur Kota Tepian Sungai
Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di
Kalimantan (Prayitno, 2005) ada delapan macam, yaitu: (1) sungai
membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh
beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota
pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah
kota danau; dan (8) kota pantai yang berdekatan dengan sungai. Karakteristik
ini tentunya berbeda dengan satu dan lainnya. Selain pola permukiman, untuk
morfologi kampung pedesaan di tepi air
menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola
permukiman, yaitu: (1) Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk
karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang
akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam.
Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi; (2) Kampung di
sepanjang sungai.
Karakteristik pola permukiman, untuk
morfologi kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis,
2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu:
(1) Kampung
di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala
lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai
sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan
dominan berperan sebagai lokasi;
(2) Kampung
di sepanjang sungai. Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan
menggunakan sungai sebagai sarana transportasi, mempunyai kecenderungan pola
yang linier dengan orientasi mengikuti pola aliran sungai.
Temuan hasil penelitian berikut ini
merupakan pola sirkulasi di kawasan permukiman tepian sungai Kahayan beserta
infrastruktur pendukung transportasi sungainya. Berdasarkan data dari hasil
pengamatan di lapangan, pola pembentuk sirkulasi ialah kawasan permukiman
beserta infrastruktur pendukung di kawasan tepian sungai Kahayan ditemukan
antara lain: (Hamidah, 2013).
1. Pola
Permukiman Pembentuk Pola Sirkulasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 total luas
wilayah Kalimantan Tengah adalah 153,567 km²(15.356.700 Ha) atau 1,5 kali luas
pulau Jawa dengan jumlah penduduk 1.935.669 (hampir 2 juta jiwa) atau 553.057
Kepala Keluarga. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk adalah 12
jiwa/ km². Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 Provinsi
Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 95 kecamatan, 123
kelurahan, 1.183 desa dan 66 buah kedemangan. Dari ke 13 kabupaten tersebut, 7
kabupaten sebagian wilayahnya bersentuhan dengan pesisir laut Jawa, sedangkan 6
kabupaten lainnya dan 1 kota berada di daerah dataran rendah, namun sedikit
berbukit serta dilalui oleh aliran sungai-sungai besar Sungai Barito, Sungai
Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Mentaya, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan
lain-lain.
Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam istilah asing disebut
catchmen area, river basin, atau watershed. DAS ialah suatu wilayah daratan
secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan hujan yang jatuh diatasnya baik dalam
bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran bawah tanah ke sungai
dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah daratan tersebut dinamakan
Daerah Tangkapan Air (DAT/Catchmen area)
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam
(tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam. (Asdak. C, 2007, Hidrologi dan Pengelolaan DAS , Fak. Geografi, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta)
Daerah Aliran
Sungai Kahayan ini dihuni oleh etnis Melayu (Banjar) dan etnis Dayak dikenal sebagai masyarakat pesisir yang
berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai
didominasi oleh etnis Dayak yang berprofesi sebagai petani peladang berpindah
dan perambah hutan. Hutan tropis dengan luas 134,937,25 atau mencapai 87,87%
dari luas wilayah Kalimantan Tengah sangat dikenal sebagai penghasil kayu.
Hutan inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi warga masyarakat yang tinggal
di daerah pedalaman. kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir relatif
lebih mudah dijangkau bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang tinggal
di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai.
a. Rumah Lanting
Rumah lanting ialah salah satu rumah
tradisional Suku Dayak yang dibangun diatas air (Riwut, 1979). Rumah-rumah
lanting ini dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, struktur pondasi dan
konstruksi materialnya. Rumah lanting ditinjau dari fungsinya: (1) sebagai
rumah; (2) sebagai usaha karamba ikan; (3) sebagai toko/warung; dan (4) sebagai
tambatan jukung/perahu/kelotok. Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya rumah
lanting sudah digunakan sejak dulu sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok, hal
ini bisa dipahami karena pada waktu itu transportasi air merupakan transportasi
utama di Kota Palangkaraya. Pada saat itu sungai sebagai orientasi tempat
bertemu antara suku dan sampai saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki
peranan sebagai tambatan perahu seperti terlihat pada Gambar 5. dan sekaligus
usaha karamba (Hamidah, 2012 hal: 264).
Bahan bambu rumah lanting digunakan
sebagai pondasi di Kota Palangkaraya didatangkan dari daerah hulu Barito
(Buntok, Muara Teweh dan Puruk Cahu). Bambu-bambu ini dikirim ke Palangkaraya
melalui transportasi sungai (perahu/kelotok). Bambu yang dijadikan pondasi
umumnya dipasang dengan cara menyatukan beberapa bambu (biasanya antara 80-100
batang) menjadi satu dan di bagian ujungnya diikat menggunakan ban mobil bekas.
Ban bekas dipilih memiliki sifat yang mudah didapat (limbah kendaraan),
memiliki kekuatan dan kelenturan/elastis dan sifat karet yang tahan lama jika
terendam air.
b. Rumah Panggung
Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian,
sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat
yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya,
sehingga kota Palangkaraya dikenal dengan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya
1999-2009).Struktur Permukiman kawasan tepian Sungai Kahayan ini merupakan
struktur kawasan pertumbuhan awal Kota Palangkaraya dengan tipologi permukiman
yang berhubungan langsung dengan sungai dan dahulu transportasi yang menjadi
urat nadi yang menghubungkan antara daerah adalah sungai. Tipologi permukiman
sebagai tempat bermukim dengan ciri rumah tinggal berupa rumah rakit (Raft House) dan rumah panggung (Pillar House) sebagai tipologi bangunan
yang kaya dengan desain arsitektur lokal . Dalam tahap
perkembangannya tingkat kepadatan hunian tertinggi adalah rumah rakit (Raft House) pada Gambar 5 dan Gambar 6 ialah rumah panggung (Pillar House).Pada Rumah
Panggung ini dihuni masyarakat asli Suku
Dayak dan Suku Banjar sebagai tempat tinggal dan tempat untuk
memenuhi kebutuhan hidup dengan mata pencaharian nelayan dan pembuat perahu (Hamidah, 2012 hal: 260-266).
2. Pola
Sirkulasi Lokal/Jalan Titian Kayu
Titian ialah jalur sirkulasi penumpang
yang digunakan masyarakat tepian sungai untuk mencapai rumah-rumah, menuju
sungai ataupun sebagai jalur interaksi masyarakat di dalam kampung kawasan
tepian sungai. Titian pada permukiman tepian sungai dibuat dengan konstruksi
susunan papan ulin lebar sekitar 1-2 meter. Papan-papan ini dipasang berjajar
menumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan langsung ke sungai dengan tinggi
tiang sekitar 1-3 meter.
Pada beberapa kasus, terdapat titian-titian
yang berukuran lebar biasanya digunakan masyarakat antara lain: (1) sebagai
ruang publik untuk tempat berkumpul dan berinteraksi; (2) sebagai ruang bermain
anak; (3) ruang olahraga/badminton; dan (4) pada saat-saat tertentu seperti
kenduri atau rapat warga digunakan untuk ruang duduk/ruang rapat.
4. Pola Sirkulasi Ruang Bersama/Dermaga
Secara umum pengertian dermaga ialah
sarana tambatan bagi alat transportasi sungai/air (kapal, kelotok, jukung dan
speed boat) bersandar untuk bongkar/muat barang atau embarkasi/debarkasi
penumpang. Dermaga pada permukiman tepian sungai yang berukuran besar biasanya
dibangun dengan kosntruksi panggung. Dermaga jenis ini dilengkapi dengan ruang
tunggu bagi pengantar dan penjemput serta tersedia fasilitas kantin dan KM/WC.
Material yang digunakan sebagian besar menggunakan kayu
(lantai/dinding/rangka), ataupun variasi dengan beton (lantai beton, dinding
kayu, dan struktur rangka kombinasi beton dan kayu).
Dermaga besar yaitu Dermaga Rambang terdiri dari dua material dan konstruksi: (1) seluruhnya dengan
konstruksi panggung; (2) sebagian menggunakan konstruksi panggung dan
sebagiannya lagi menggunakan struktur rakit/lanting. Dermaga yang dibangun
dengan konstruksi panggung menyediakan tangga-tangga bertiang untuk penumpang
dari dan menuju area tambat kapal/perahu dan speed boat. Sedangkan dermaga yang
dibangun dengan konstruksi tiang dan konstruksi rakit, menggunakan jembatan
sebagai penghubung antara ruang tunggu pengantar maupun ruang kedatangan.
Ruang-ruang yang berada dibagian berpanggung berfungsi untuk ruang
pelayanan/administrasi, ruang tunggu, dan KM/WC ada juga yang menambahkan
dengan fungsi kantin pada ruangan ini. Sedangkan ruang pada bagian struktur
rakit biasanya digunakan sebagai ruang peralihan penumpang yang baru turun atau
akan naik ke kapal, serta ruang untuk bertambatnya kapal.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pola sirkulasi kawasan ini memegang
peran penting dalam upaya pengembangan kawasan perkotaan. Namun demikian
penelitian dan tulisan ilmiah yang berkaitan mengenai pengembangan pola
sirkulasi kawasan dengan karakteristik arsitektur pola sirkulasi kawasan tepian
sungai dengan kontekstual budaya masyarakat asli akrab dengan sungai, memiliki
peranan dalam perkembangan kota, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi model
pengembangan transportasi sungai antara lain: (a) Faktor lingkungan lahan
basah; dan (b) faktor budaya sungai. Faktor lingkungan lahan basah terlihat
pada penggunaan konstruksi tiang/panggung dan konstruksi rumah rakit (terapung)
untuk mengatasi kondisi lahan basah yang selalu tergenang air. Faktor budaya
sungai terlihat pada kuatnya ketergantungan masyarakat dalam menggunakan
sungai. Sungai berfungsi sebagai hunian/rumah lanting yang memiliki peranan,
yaitu: (a) sebagai rumah; (b) sebagai usaha karamba ikan; (c) sebagai
toko/warung; dan (d) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Saat ini fungsi
rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu sekaligus usaha
karamba.
Penelitian bidang arsitektur dan perencanaan
kota selama ini hanya dilihat secara regional saja, belum menyentuh pada amatan
pola sirkulasi dan permukiman tepian sungai yang berperan penting pada
perkembangan kota-kota di Indonesia, terlebih lagi penelitian belum sampai pada
pemahaman kompleksitas permasalahan sirkulasi dan kondisi permukiman di
Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan
model penelitian pola sirkulasi secara aplikatif dan praktif mudah diimplemtasi
untuk penataan pola sirkulasi dan pelestarian maupun perbaikan permukiman,
khususnya kawasan tepian sungai perkotaan di Indonesia. dalam mengelola kawasan
tepian sungai dan tetap menjaga keaslian kawasan. Pada akhirnya pemahaman akan
keberadaan pola sirkulasi dalam kawasan tepian sungai ini memegang peranan
penting untuk melihat perkembangan fisik perkotaan, kedepan diharapkan menjadi
alternatif solusi transportasi.