Minggu, 09 Desember 2018


PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI RUANG PUBLIK KOTA
                                oleh: Noor Hamidah

RTH Kota (Urban Green Open Space) adalah halaman rumah/bangunan pribadi, seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami tetumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian, sebagai:
1.   RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu);
2.   Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995).

Sedangkan Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa RT, apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’ yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, sebab tak layak huni.  Secara hukum (hak atas tanah), RTH bisa berstatus sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood), seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota, dan sebagainya), maupun milik umum, seperti: Taman-taman Kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan Kota/Urban Forest Park, Lapangan Olahraga (umum), Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau koridor hijau): lalu-lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaringan tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/SUTET, Taman Pemakaman Umum (TPU), dan daerah cadangan perkembangan kota (bila ada). Lebih jelasnya, bila berdasar pada status penguasaan lahan, RTH kota dapat terletak di:
1.   Lahan Kawasan Kehutanan, yurisdiksinya diatur oleh UU Nomor: 5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Kawasan Hutan Kota dapat berupa Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun Bibit Kehutanan.
2. Lahan Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria. Menurut kewenangan pengelolaannya berada di bawah unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang dimiliki atau dikelola penduduk.

Menurut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Sedangkan zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka (Hijau).
Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pengelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan daerah khusus RTH kota dan peraturan lain terkait, namun tetap masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, yang dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan menjadi UU No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Keterbatasan lahan hijau dan masih kuatnya egoisme sektoral menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian tembok pembatas antar gedung bertingkat yang masif dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh khususnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indonesia, hingga dapat menyatu dengan trotoar yang berada di tepian badan jalan. Untuk menjaga ketertiban, maka peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut pembayaran biaya parkir di halaman gedung.
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Tentu saja ‘angka’ ini bukan merupakan patokan mati. Penetapan luas RTH kota harus berdasar pula pada studi eksistensi sumber daya alam dan manusia penghuninya.
Penetapan besaran luas RTH ini bisa juga disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disayangkan, bahwa dalam hal pengelolaan RTH Kota agar tetap bisa eksis, bahkan kualitas maupun kuantitas RTH-nya bisa terus meningkat, nampak kurang konsistennya Pemerintah Daerah DKI-Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika target luas RTH dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 adalah 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, target tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal). Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010, target luas RTH menyusut hanya sebesar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara luas RTH di lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190 hektar, atau ‘kritis’) dari total luas kota Jakarta yang 66.152 hektar tersebut.
Target yang semakin menyempit itu pun, konon sulit direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH yang sering di korbankan padahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis tinggi, bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara fisik maupun psikologis.
Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain. Dapat disimpulkan, bahwa sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ruang rekreasi gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.

Selasa, 13 Maret 2018

ANALISIS KAMPUNG PAHANDUT SEBAGAI PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI BERKELANJUTAN


ANALISIS KAMPUNG PAHANDUT SEBAGAI PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI BERKELANJUTAN
Analysis of Kampung Pahandut as Sustainable Urban Riverside Settlement
Noor Hamidah[1],2, R. Rijanta[2],  Bakti Setiawan[3],  Muh Aris Marfai2

Diterima: 17 Mei 2017           Disetujui: 29 Agustus 2017
Abstrak: Permukiman di Indonesia secara umum terletak di tepian sungai. Salah satu permukiman tertua di tepian sungai adalah Kampung Pahandut kawasan tepian Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya, Propinsi Kalimantan Tengah. Permukiman tepian Sungai Kahayan merupakan pusat kehidupan bagi masyarakat lokal dan akses utama ke wilayah lain di Kalimantan Tengah. Permukiman tepian Sungai Kahayan merupakan permukiman awal dan berkembang menjadi pusat Kota. Integrasi formal dan informal di permukiman tepian Sungai Kahayan akan diekplorasi untuk keberlanjutan permukiman tepian sungai di masa depan. Permukiman secara umum meliputi: (1) alam; (2) lindungan/rumah; (3) jejaring; (4) manusia; dan (5) masyarakat. Batasan penelitian integrasi formal dan informal dikaji secara fisik meliputi: (1) alam, (2) rumah, dan (3) jaringan di lingkungan permukiman, khususnya permukiman alami dengan kekhasan arsitektur tepian sungai. Metode penelitian menggunakan metode kombinasi/gabungan (kualitatif dan kuantitatif). Penelitian integrasi mengekplor antara data observasi lapangan dan data survei dengan mengambil 50 sampel Kepala Keluarga di Kampung Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dilakukan untuk mengeksplorasi informasi potensi permukiman tepian sungai. Hasil penelitian menunjukkan terdapat variabel-variabel integrasi formal dan informal di permukiman tepian sungai, yaitu: (1) alam, (2) rumah, dan (3) jaringan. Ketiga variabel integrasi tersebut mendukung model perbaikan permukiman di kawasan tepian sungai menuju pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pelestarian kawasan tepian sungai.

Kata kunci: Analisa, Kampung, Pahandut, Permukiman, tepian Sungai, Kahayan
Abstract: Settlements in Indonesia are generally located on the urban riverside area. One of the oldest settlements on the banks of the river is Kampung Pahandut on the Kahayan riverside area, Palangka Raya City, Central Kalimantan Province. The riverside settlement of the Kahayan River is the center of life for local people and key access to other areas of Central Kalimantan. Settlement of the Kahayan River is an early settlement and develops into the center of the City. Formal and informal integration in the Kahayan River riverside settlements will be explored for future sustainability of riverbank settlements. Settlement consist of: (1) nature; (2) shell/house; (3) network; (4) man; and (5) community. This research only focus on analysis of physical integration (1) nature; (2) shell/house; and (3) network especially natural settlement with the unique of riverside architecture. The objective of this research was to explore the pattern of settlements as an adaptation to the physical environment riverside area and to analyses the physical, economic and social apart of integration of urban riverside settlement. Research method used a combination (mix-used method) based on field observation and quesioner with 50 sample representated on one villages of Pahandut. The results showed there are three variables that affect to riverside settlement, namely: (1) nature; (2) settlement; and (3) network. The three variable of the settlement pattern support settlements in those areas riverside towards sustainable development through to riverside area.

Keyword: Analysis, Kampung, Pahandut, Settlement, Urban Riverside, Kahayan

Publish on Tata Loka Journal UNDIP, August 2017



1 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangka Raya
2 Jurusan Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
3 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada


Rabu, 24 Agustus 2016

Cara Penulisan Frase Palangkaraya ataukah Palangka Raya.

Kutipan Nila Riwut

Telah dimuat di Kalteng Pos, 18 September 2013

Pada umumnya menjelang kelahiran anak, setiap orang tua akan merenung dan berpikir keras untuk memberikan nama yang dirasa tepat dan pantas bagi sang anak. Nama yang penuh makna karena setiap anak membawa harapan serta doa restu orang tua dalam perjalanan hidupnya.  Demikian pula bagi si anak, semakin dewasa,semakin menyadari dan mencoba memahami harapan orang tua yang tersirat pada nama yang telah diterimanya. Tentu saja masa depan anak tidak harus sama persis dengan harapan orang tuanya, akan tetapi doa restu dan harapan orang tua selalu positip sehingga energi positiplah yang menuntun langkah sang anak. Nama adalah identitas diri walau ada pula yang berprinsip: “ apa arti sebuah nama”.

Ketika berjalan-jalan di ibukota Provinsi KalimantanTengah,  terlihat di sana dan sini aneka baliho bertebaran menyemarakkan kota. Akan tetapi apabila diamati secara cermat, niscaya bingung terasa. Frase manakah yang benar ?. Palangkaraya atau Palangka Raya (dengan spasi)? Karena sebagian menulis Palangkaraya dan sebagian lagi menulis  Palangka Raya.
Banjarmasin,New York, misalnya. Semua orang tau persis, tanpa ragu akan menulis Banjarmasin tanpa spasi bukan Banjar Masin. Demikian pula dengan New York, yang mana merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat didunia, tak ada yang menulis Newyork. Lalu mengapa untuk nama ibukota KalimantanTengah terjadi keraguan ?.

Fakta budaya mengatakan nama ibukota Provinsi Kalimantan Tengah adalah Palangka Raya, bukan Palangkaraya. Kenyataan tersebut diperkuat dengan adanya  dokumen dan catatan Bapak TjilikRiwut, Gubernur Pertama Kalimantan Tengah. Nama tersebut mengandung makna yang sangat dalam dan untuk mendapatkannya tidak begitu saja diperoleh. Perlu diselenggarakan sayembara terlebih dahulu untuk mendapatkan nama yang tepat dan penuh makna. Pemenang sayembara adalah tokoh masyarakat yang  dalam kehidupannya  sangat peduli dan fokus pada masalah budaya Dayak. Beliau adalah  Bapak Yohannes Saililah yang lebih dikenal dengan nama Damang Saililah. Beliau adalah juga bapak mertua dari Prof.K.M.A. Usop mantan rektor Universitas Palangka Raya.

Apa yang tersirat dan tersurat dalam nama ibu kota Kalimantan Tengah sangat jelas. Nama itu mengandung energi positip yang sakral lagi dahsyat.  Diyakini pula bahwa manusia pertama yang merupakan nenek moyang Suku Dayak diturunkan kebumi oleh RanyingHatalla atau Allah yang Kuasa dengan kendaraan Palangka BulauPalangka berarti  gandar atau tempat sajen. Dan bulau berarti emas. Tempat sajen identik dengan sesuatu yang bersifat sakral. Palangka tersebut terbuat dari bulau atau emas.

Ibukota provinsi adalah rumah induk atau pusat energi atau pusat daya, pusat semangat bagi anak cucu Tambun Bungai karena disitulah Presiden RI Pertama Ir.Soekarno mantejek tihang ije soelak atau menancapkan tiang pertama bagi pembangunan provinsi Kalimantan Tengah.

Saat Presiden RI Pertama Ir.Soekarno

mantejektihang ije soelak pembangunan kota Palangka Raya

 17 Juli1957  pukul 10/17 wite.

( dokumentasi keluarga Tjilik Riwut)Saat Presiden RI Pertama Ir.Soekarno mantejektihang ije soelak pembangunan kota Palangka Raya 17 Juli1957 pukul 10/17 wite. ( dokumentasi keluarga Tjilik Riwut)


Nama Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah juga mengandung kata Palangka yang maknanya sama. PALANGKA berarti  “Gandar atau tempat yang suci yang diturunkan dari langit ketujuh”. RAYA artinya “besar”. Dengan demikian frase PALANGKA RAYAartinya:Tempat yang suci dan besar, jangan dinodai.
Tiga kata kunci:  suci, besar, jangan dinodai seakan mamparendeng atau mengingatkan kita untuk selalu ingat terhadap restu dan harapan para pendahulu. Kalimat “ jangan dinodai” seolah selalu menyatu dalam arti kata Palangka Raya, walau bila diterjemahkan secara harafiah tak ada sangkut pautnya. Bukan tidak mungkin kalimat “jangan dinodai”, dikaitkan dengan sakralnya palangka adalah lambang kesucian, kebersihan atau ketulusanhati.  Diharapkan para generasi penerus dapat memahami falsafah dan harapan para founding father skita kepada makna Palangka Raya.

Selanjutnya,rasa bangga atas nama yang telah disepakati bersama terungkap dalam salah satu lembaran catatan TjilikRiwut:                     
“ Di bumi Nusantara, hanya ada dua ibukota yang memakai Raya. Jakarta Raya dan Palangka Raya. Perlu digaris bawahi bahwa Palangka Raya telah lahir dari perjuangan dan airmata, bukan merupakan hadiah. Perlu dicatat pula bahwa PalangkaRaya adalah ibukota pertama di bumi Nusantara yang benar-benar murni hasil karya anak bangsa  di Alam Merdeka, bukan peninggalan Belanda. Murni dibangun dari hutan belukar. Propinsi KalimantanTengah diresmikan sebagai propinsi ke 17. Pada Kabinet ke 17. Sebagai kenang-kenangan, di depan  Kantor Gubernur lama didirikan tiang bendera yang tingginya 17 meter.

Dilain pihak :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1958 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 10 TAHUN 1957 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH SWATANTRA TINGKAT I KALIMANTAN TENGAH DAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 1956 TENTANG PEMBENTUKAN  DAERAH-DAERAH SWATANTRA TINGKAT I KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN SELATAN DAN  KALIMANTAN TIMUR (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1957 NO. 83) SEBAGAI UNDANG-UNDANG yang disahkan di Jakarta, pada tanggal 17Juni 1958. Undang-Undang tersebut diundangkan, pada tanggal 2 Juli 1958 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Dalam Pasal 2, ayat(1),tertulis Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah adalah Palangkaraya.

Tanpa menghakimi, mungkin saja kekeliruan dalam penulisan hanya disebabkan karena kesalahan ketik belaka atau kemungkinan pula pada saat itu fokus perhatian tidak pada tulisan nama ibukota Kalimantan Tengah tetapi pada keberhasilan perjuangan, bahwa Kalimantan Tengah telah diakui sebagai Daerah SwatantraTingkat  I.

Sepintas kilas urusan penulisan nama ibukota Provinsi Kalimantan Tengah,  Palangka Raya ataukah Palangkaraya, yang perbedaannya hanya pada spasi, bisa saja dianggap sepele atau tidak penting. Namun sesungguhnya dengan keraguan dalam penulisan nama ibukota, harga diri telah dipertaruhkan dan keraguan akan diwariskan sepanjang masa.Sebab ketika nama Palangkaraya (tanpa spasi) ditulis sebagai nama Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, sudah barang tentu nama tersebut hanya tinggal nama yang tidak memiliki makna apapun, dan ini akan berbeda dengan “niat tulus” para pendiri Palangka Raya yang memberikan nama tersebut dengan makna dan arti yang sangat mendalam. Sekarang adalah saat yang tepat untuk dibenahi mengingat  alih generasi pelan tapi pasti niscaya akan terjadi.

Bila sikap tidak peduli atau beken urusangku  tidak disibak jauh, bukan tidak mungkin pada akhirnya rasa tak berdaya datang menjelang. Ketidak pedulian adalah awal dari sikap loyo yang berakibat lenyapnya rasa kebersamaan. Sebagai tuan rumah, anak esun Tambun Bungai atau warga Dayak di Kalimantan Tengah, perlu menentukan sikap dan aturan serta menjaga kebenaran sejarah. Hal ini diperlukan agar para tamu dan pendatang tidak menjadi bingung. Mereka perlu tahu persis bagaimana mereka harus bersikap.Bukan hanya pada pelurusan nama ibukota provinsi Kalteng tetapi bagaimana belum bahadat  atau hidup sesuai etika  dan kebiasaan di rumah betang yang identik dengan kehidupan sosial suku Dayak.
Tugas kita semua yang mengerti akan kebenaran ini menyampaikan kepada semua orang yang belum mengerti arti Palangka Raya. Jadi yang benar adalah Palangka Raya BUKAN Palangkaraya

( Dari berbagai sumber, khususnya catatan dan dokumentasi BapakTjilik Riwut).

Semoga bermanfaat

Jumat, 25 Desember 2015

PERMUKIMAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
KAMPUNG PAHANDUT, KOTA PALANGKARAYA
Noor Hamidah
Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Palangkaraya
Abstrak
Pembangunan berkelanjutan ialah peningkatan kualitas hidup manusia dan menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Pembangunan kota terfokus pada perubahan lingkungan, namun belum menyentuh pembangunan manusia dan lingkungan permukimannya. Perkembangan tanah untuk lahan bermukim hanya mengikuti mekanisme pasar, seperti permukiman di Kampung Pahandut, Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya. Permukiman ini berkembang sejak tahun 1894 yaitu merupakan perkampungan penduduk Dayak Ngaju. Kegiatan masyarakat Dayak Ngaju ialah petani ladang berpindah di sepanjang sungai Kahayan.  Sungai berfungsi antara lain: transportasi, tempat bermukim, mata pencaharian “pasha mandulang” (tambang emas dan intan), dan fungsi sosial budaya. Kelurahan Pahandut awalnya sebuah kampung kecil, kini berkembang pesat menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalisa permukiman berkelanjutan berwawasan lingkungan di Kampung Pahandut Kota Palangkaraya. Metode penelitian menggunakan metode gabungan (mixed use method) antara kualitatif dan kuantitatif. Analisa penelitian mengacu pada teori permukiman (human settlement theory) yaitu menganalisa empat aspek permukiman antara lain: alam (nature), lindungan (shell), jaringan (network), dan manusia/masyarakat (man). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aspek permukiman tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan. Cara hidup masyarakat Dayak Ngaju tanggap pada kelestarian lingkungan  dan budaya gotong royong dalam di lingkungan permukiman.


Kata kunci: permukiman, pembangunan berkelanjutan, lingkungan

PENDAHULUAN
Permukiman sebagai suatu wadah atau suatu wujud fisik budaya saling mempengaruhi dengan isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami sebagai tempatnya. Ada 2 aspek penting mengenai isi dan lingkungan alami yang perlu dipahami dari permukiman Indonesia, yaitu pertama, isi meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua, lingkungan alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial Geografi keruangan didalamnya telah mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya perubahan sosio-ekonomi. (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).

Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300 suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 Propinsi dengan keaneka-ragaman sifat  lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu di  Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992). 

Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam keaneka ragaman sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan pertumbuhan tinggi sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari suku-suku terasing dan kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh oleh perubahan. Kemampuan permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan perkembangannya akan memiliki makna berbeda karena tempat yang berbeda. (Indonesia Heritage, 1992).    

Tautan lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik ini merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses transportasi. Akses daerah aliran sungai merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki banyak anak sungai dengan muaranya adalah sungai Kahayan. Tipologi mayoritas masyarakatnya bermukim dan menggantungkan hidup pada sungai. Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangka Raya dikenal dengan sebutan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).

 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu:
Identifikasi studi pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik dari kawasan kota tepian sungai. Studi pola sirkulasi dan pola ruang kawasan tepian sungai sebagai upaya konservasi eko-wisata tepian sungai di masa mendatang. Berdasarkan tujuan di atas, manfaat penelitian ini ialah:
1.       Untuk mengenal wujud pola sirkulasi kawasan tepian Sungai Kahayan dan merekomendasikan modal pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik sebagai wisata sungai. Model pola sirkulasi bermanfaat membuka akses menuju ke kawasan pelestarian  arsitektur bangunan tua dan menuju wisata tepian sungai sebagai aset andalan Kota Palangkaraya di masa mendatang.
2.       Untuk mengenal wujud arsitektur kawasan tepian sungai dan merekomendasikan menjadi kawasan andalan wisata arsitektur bangunan tua melalui kajian bentuk hunian kawasan tepian Sungai Kahayan, sehingga mendapatkan gambaran potensi pengembangan konsep pola bentuk hunian yang akan di Konservasi di kawasan Tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian ekplorasi kualitatif lapangan (A qualitative Exploratory Research) berdasarkan ekplorasi data lapangan (field observation) nilai historis kawasan melalui survei, wawancara dan identifikasi potensi kawasan tepian Sungai Kahayan. Kawasan yang menjadi kasus penelitian adalah potensi transportasi sungai dan pola sirkulasi tepian sungai Kahayan Kota Palangkaraya. Data-data dikumpulkan melalui literature review dan pengamatan lapangan (field observation) atas aspek fisik lingkungan buatan yang mendukung potensi transportasi sungai antara lain: sarana transportasi sungai (jalan, titian, jembatan), dermaga dan pelabuhan serta rumah tinggal. Selanjutnya data dianalisis dengan metode komparasi dan deskriptif-interpretatif berbagai aspek kehidupan. 

Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi pada kawasan permukiman informal tepian sungai Kahayan Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 2). Sungai Kahayan ialah sungai yang memiliki panjang 450 m2 dan lebar 100m2. Luas Wilayah administratif Kota Palangkaraya 2.400 km² lahan terbangun ± 226,67 km² dengan jumlah penduduk ± 210.600 jiwa (56.000 KK). Batas administrasi meliputi: 1) Utara: Kabupaten Gunung Mas; 2) Selatan: Kabupaten Pulang Pisau; 3) Timur: Kab. Gunung Mas; dan 4) Barat: Kabupaten Katingan.  

Kajian empirik kawasan permukiman informal ini berada sepanjang tepian sungai Kahayan dalam lingkup Kota Palangkaraya. Lokasi penelitian ialah pada tingkat Kelurahan akan diambil sampel model per RW sebagai sampel pola sirkulasi kawasan.

Sungai Kahayan merupakan sungai besar yang awal mulanya merupakan jalur transportasi antar kota maupun daerah di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, sungai tersebut masih berfungsi sebagai penghubung ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau jalur jalan darat. Sungai-sungai di Kalimantan Tengah termasuk Sungai Kahayan merupakan sarana transportasi yang dominan dan sungai sebagai urat nadi perekonomian daerah. Kawasan Bantaran Sungai Kahayan ini pada musim tertentu seperti pada musim hujan akan terlihat seolah-olah berdiri diatas air (terapung). Pada musim kemarau, kawasan permukiman ini akan terlihat berdiri di atas daratan. Kondisi eksisting ini merupakan keunikan yang terdapat di kawasan selain pola permukiman juga pola sirkulasi yang berbeda pola sirkulasi Jalan titian kayu (wood bridge), Jalan tanah (unpavement) dan Jalan cor beton memiliki variasi lebar 2 – 3 meter. 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola dan Struktur Kota Tepian Sungai
Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di Kalimantan (Prayitno, 2005) ada delapan macam, yaitu: (1) sungai membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah kota danau; dan (8) kota pantai yang berdekatan dengan sungai. Karakteristik ini tentunya berbeda dengan satu dan lainnya. Selain pola permukiman, untuk morfologi  kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu: (1) Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi; (2) Kampung di sepanjang sungai.
Karakteristik pola permukiman, untuk morfologi kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu:
(1)          Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi;
(2)          Kampung di sepanjang sungai. Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan menggunakan sungai sebagai sarana transportasi, mempunyai kecenderungan pola yang linier dengan orientasi mengikuti pola aliran sungai.
Temuan hasil penelitian berikut ini merupakan pola sirkulasi di kawasan permukiman tepian sungai Kahayan beserta infrastruktur pendukung transportasi sungainya. Berdasarkan data dari hasil pengamatan di lapangan, pola pembentuk sirkulasi ialah kawasan permukiman beserta infrastruktur pendukung di kawasan tepian sungai Kahayan ditemukan antara lain: (Hamidah, 2013).

1. Pola Permukiman Pembentuk Pola Sirkulasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 total luas wilayah Kalimantan Tengah adalah 153,567 km²(15.356.700 Ha) atau 1,5 kali luas pulau Jawa dengan jumlah penduduk 1.935.669 (hampir 2 juta jiwa) atau 553.057 Kepala Keluarga. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk adalah 12 jiwa/ km². Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 95 kecamatan, 123 kelurahan, 1.183 desa dan 66 buah kedemangan. Dari ke 13 kabupaten tersebut, 7 kabupaten sebagian wilayahnya bersentuhan dengan pesisir laut Jawa, sedangkan 6 kabupaten lainnya dan 1 kota berada di daerah dataran rendah, namun sedikit berbukit serta dilalui oleh aliran sungai-sungai besar Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Mentaya, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan lain-lain.

Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam istilah asing disebut catchmen area, river basin, atau watershed. DAS ialah suatu wilayah daratan secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan hujan yang jatuh diatasnya baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran bawah tanah ke sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DAT/Catchmen area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Asdak. C, 2007, Hidrologi dan Pengelolaan DAS , Fak. Geografi, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta)

Daerah Aliran Sungai Kahayan ini dihuni oleh etnis Melayu (Banjar) dan etnis Dayak dikenal sebagai masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai didominasi oleh etnis Dayak yang berprofesi sebagai petani peladang berpindah dan perambah hutan. Hutan tropis dengan luas 134,937,25 atau mencapai 87,87% dari luas wilayah Kalimantan Tengah sangat dikenal sebagai penghasil kayu. Hutan inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman. kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir relatif lebih mudah dijangkau bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai.


a.       Rumah Lanting
Rumah lanting ialah salah satu rumah tradisional Suku Dayak yang dibangun diatas air (Riwut, 1979). Rumah-rumah lanting ini dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, struktur pondasi dan konstruksi materialnya. Rumah lanting ditinjau dari fungsinya: (1) sebagai rumah; (2) sebagai usaha karamba ikan; (3) sebagai toko/warung; dan (4) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya rumah lanting sudah digunakan sejak dulu sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok, hal ini bisa dipahami karena pada waktu itu transportasi air merupakan transportasi utama di Kota Palangkaraya. Pada saat itu sungai sebagai orientasi tempat bertemu antara suku dan sampai saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu seperti terlihat pada Gambar 5. dan sekaligus usaha karamba  (Hamidah, 2012 hal: 264).

Bahan bambu rumah lanting digunakan sebagai pondasi di Kota Palangkaraya didatangkan dari daerah hulu Barito (Buntok, Muara Teweh dan Puruk Cahu). Bambu-bambu ini dikirim ke Palangkaraya melalui transportasi sungai (perahu/kelotok). Bambu yang dijadikan pondasi umumnya dipasang dengan cara menyatukan beberapa bambu (biasanya antara 80-100 batang) menjadi satu dan di bagian ujungnya diikat menggunakan ban mobil bekas. Ban bekas dipilih memiliki sifat yang mudah didapat (limbah kendaraan), memiliki kekuatan dan kelenturan/elastis dan sifat karet yang tahan lama jika terendam air.

b.       Rumah Panggung
Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangkaraya dikenal dengan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).Struktur Permukiman kawasan tepian Sungai Kahayan ini merupakan struktur kawasan pertumbuhan awal Kota Palangkaraya dengan tipologi permukiman yang berhubungan langsung dengan sungai dan dahulu transportasi yang menjadi urat nadi yang menghubungkan antara daerah adalah sungai. Tipologi permukiman sebagai tempat bermukim dengan ciri rumah tinggal berupa rumah rakit (Raft House) dan rumah panggung (Pillar House) sebagai tipologi bangunan yang kaya dengan desain arsitektur lokal . Dalam tahap perkembangannya tingkat kepadatan hunian tertinggi adalah rumah rakit (Raft House) pada Gambar 5 dan Gambar 6 ialah rumah panggung (Pillar House).Pada Rumah Panggung ini dihuni masyarakat asli Suku Dayak dan Suku Banjar sebagai tempat tinggal dan tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mata pencaharian nelayan dan pembuat perahu (Hamidah, 2012 hal: 260-266).
                                                 
2. Pola Sirkulasi Lokal/Jalan Titian Kayu
Titian ialah jalur sirkulasi penumpang yang digunakan masyarakat tepian sungai untuk mencapai rumah-rumah, menuju sungai ataupun sebagai jalur interaksi masyarakat di dalam kampung kawasan tepian sungai. Titian pada permukiman tepian sungai dibuat dengan konstruksi susunan papan ulin lebar sekitar 1-2 meter. Papan-papan ini dipasang berjajar menumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan langsung ke sungai dengan tinggi tiang sekitar 1-3 meter.
Pada beberapa kasus, terdapat titian-titian yang berukuran lebar biasanya digunakan masyarakat antara lain: (1) sebagai ruang publik untuk tempat berkumpul dan berinteraksi; (2) sebagai ruang bermain anak; (3) ruang olahraga/badminton; dan (4) pada saat-saat tertentu seperti kenduri atau rapat warga digunakan untuk ruang duduk/ruang rapat.     

4. Pola Sirkulasi Ruang Bersama/Dermaga
Secara umum pengertian dermaga ialah sarana tambatan bagi alat transportasi sungai/air (kapal, kelotok, jukung dan speed boat) bersandar untuk bongkar/muat barang atau embarkasi/debarkasi penumpang. Dermaga pada permukiman tepian sungai yang berukuran besar biasanya dibangun dengan kosntruksi panggung. Dermaga jenis ini dilengkapi dengan ruang tunggu bagi pengantar dan penjemput serta tersedia fasilitas kantin dan KM/WC. Material yang digunakan sebagian besar menggunakan kayu (lantai/dinding/rangka), ataupun variasi dengan beton (lantai beton, dinding kayu, dan struktur rangka kombinasi beton dan kayu).
Dermaga besar yaitu Dermaga Rambang  terdiri dari dua material dan konstruksi: (1) seluruhnya dengan konstruksi panggung; (2) sebagian menggunakan konstruksi panggung dan sebagiannya lagi menggunakan struktur rakit/lanting. Dermaga yang dibangun dengan konstruksi panggung menyediakan tangga-tangga bertiang untuk penumpang dari dan menuju area tambat kapal/perahu dan speed boat. Sedangkan dermaga yang dibangun dengan konstruksi tiang dan konstruksi rakit, menggunakan jembatan sebagai penghubung antara ruang tunggu pengantar maupun ruang kedatangan. Ruang-ruang yang berada dibagian berpanggung berfungsi untuk ruang pelayanan/administrasi, ruang tunggu, dan KM/WC ada juga yang menambahkan dengan fungsi kantin pada ruangan ini. Sedangkan ruang pada bagian struktur rakit biasanya digunakan sebagai ruang peralihan penumpang yang baru turun atau akan naik ke kapal, serta ruang untuk bertambatnya kapal.

           
KESIMPULAN DAN SARAN
Pola sirkulasi kawasan ini memegang peran penting dalam upaya pengembangan kawasan perkotaan. Namun demikian penelitian dan tulisan ilmiah yang berkaitan mengenai pengembangan pola sirkulasi kawasan dengan karakteristik arsitektur pola sirkulasi kawasan tepian sungai dengan kontekstual budaya masyarakat asli akrab dengan sungai, memiliki peranan dalam perkembangan kota, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi model pengembangan transportasi sungai antara lain: (a) Faktor lingkungan lahan basah; dan (b) faktor budaya sungai. Faktor lingkungan lahan basah terlihat pada penggunaan konstruksi tiang/panggung dan konstruksi rumah rakit (terapung) untuk mengatasi kondisi lahan basah yang selalu tergenang air. Faktor budaya sungai terlihat pada kuatnya ketergantungan masyarakat dalam menggunakan sungai. Sungai berfungsi sebagai hunian/rumah lanting yang memiliki peranan, yaitu: (a) sebagai rumah; (b) sebagai usaha karamba ikan; (c) sebagai toko/warung; dan (d) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu sekaligus usaha karamba.

Penelitian bidang arsitektur dan perencanaan kota selama ini hanya dilihat secara regional saja, belum menyentuh pada amatan pola sirkulasi dan permukiman tepian sungai yang berperan penting pada perkembangan kota-kota di Indonesia, terlebih lagi penelitian belum sampai pada pemahaman kompleksitas permasalahan sirkulasi dan kondisi permukiman di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan model penelitian pola sirkulasi secara aplikatif dan praktif mudah diimplemtasi untuk penataan pola sirkulasi dan pelestarian maupun perbaikan permukiman, khususnya kawasan tepian sungai perkotaan di Indonesia. dalam mengelola kawasan tepian sungai dan tetap menjaga keaslian kawasan. Pada akhirnya pemahaman akan keberadaan pola sirkulasi dalam kawasan tepian sungai ini memegang peranan penting untuk melihat perkembangan fisik perkotaan, kedepan diharapkan menjadi alternatif solusi transportasi.
  

Selasa, 20 Oktober 2015

PERAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PERKEMBANGAN PERMUKIMAN PERKOTAAN YANG LEBIH PROGRESIF

Noor Hamidah


  
Abstrak

Paper ini menyoroti beberapa catatan peran Geographic Information System (GIS)/ Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berkaitan dengan manajemen perkotaan. Beberapa kemungkinan pemanfaatan SIG baik sebagai alat untuk melakukan prediksi-prediksi dan perencanaan jangka panjang maupun monitoring secara rutin perkembangan dan persoalan permukiman perkotaan. Fokus paper ini ialah melihat perkembangan permukiman perkotaan harus dikembangkan secara lebih progresif, peran SIG merupakan sarana yang tepat untuk mendukung tercapainya tujuan pengelolaan dan monitoring permukiman perkotaan yang efisien dan berkeadilan dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaataan tanah untuk permukiman. Persoalan pemanfaatan SIG tidak hanya pada segi teknis melainkan lebih pada aspek-aspek institusi, termasuk didalamnya pandangan dan perilaku stakeholders dan urban planner yang berkecimpung dalam manejemen perkotaan. SIG sebagai “tool” bersifat objektif akan sangat ditentukan oleh kepekaan para manajer kota (stakeholders dan urban planner) untuk mendeteksi apa sebenarnya persoalan yang paling kritis dihadapi oleh permukiman perkotaan di Indonesia.

Kata Kunci: Sistem Informasi Geografi, Permukiman, Manajemen Perkotaan

PENDAHULUAN
Berbicara mengenai manajemen perkotaan tidaklah lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) yakni pengelolaan dan penggunaan tanah secara rinci sebagai suatu proses pembangunan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara berkelanjutan (menyerasikan aktivitas manusia sesuai kemampuan sumberdaya alam) untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa mendatang (Sugandhy, 2009:26). Pembangunan berkelanjutan dinyatakan secara tegas oleh UN-HABITAT di Stockholm, Swedia tahun 1987 yakni: “Sustainable development is the development that meets the needs of presents without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”(WCED, 1987:8).
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) di Indonesia ialah fokus pada penggunaan tanah untuk permukiman. Tanah merupakan elemen dasar pembangunan rumah sebagai entry point dalam proses pembangunan. Tanah berfungsi sebagai ruang dan tempat manusia berbudaya. Pemanfaatan dan pengembangan tanah tersirat dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 berbunyi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penjabaran dari isi UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 ini mengartikan bahwa: (1) tanah merupakan sumber yang langka, dimana pengelolaannya harus diawasi oleh masyarakat demi kepentingan bersama; (2) Perubahan dalam penggunaan tanah terutama dari tanah pertanian untuk tanah permukiman harus berdasarkan peraturan dan diawasi masyarakat; dan (3) tanah milik masyarakat harus dipakai untuk mengamankan dan mengendalikan urbanisasi.
Mencermati konsep pembangunan berkelanjutan di atas sejalan dengan proses pembangunan nasional serta perkembangan permukiman perkotaan di Indonesia, dikenal sebagai proses pembangunan manajemen perkotaan ke depannya menghadapi lima persoalan penting, yaitu: (1) persoalan mengenai dinamika perkembangan permukiman perkotaan yang semakin sulit diantisipasi dan diprediksi, mengakibatkan model-model manajemen (permukiman) perkotaan yang cenderung pasif dan hanya mengandalkan mekanisme perijinan dan peraturan saja, selama ini dianggap tidak memadai. Banyak perubahan yang tidak dapat diprediksikan menuntut pengelola kota (urban planner) untuk selalu melakukan inovasi dan bersifat terbuka terhadap alternatif-alternatif baru untuk mengantisipasi perkembangan permukiman kota; (2) konflik ruang semakin meningkat pada beberapa dasawarsa mendatang. Konflik ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan untuk berbagai kepentingan (salah satu ruang untuk permukiman) di satu sisi, serta kecenderungan tidak efektifnya model-model konvensional rencana ruang yang cenderung terlalu kaku dan deterministik di sisi lain; (3) Persoalan batas-batas administratif negara dan kota yang semakin kabur, terutama kaitannya terhadap pola investasi global yang cenderung diluar batas “kesanggupan” pengelola administrasi negara dan kota untuk mengarahkannya; Persoalan selanjutnya merupakan konsekuensi wajar dari ketiga persoalan diatas yakni menyangkut persoalan lingkungan dan kesenjangan ekonomi sosial. Proses-proses perkembangan dan perubahan ruang yang begitu cepat dan tidak dapat diprediksi, seringkali diikuti efek-efek negatif terhadap lingkungan perkotaan meliputi: (a) penurunan pemantauan pada konservasi lahan-lahan produktif; (b) penurunan kualitas lingkungan; (b) ketidakpekaan pada persoalan limbah; dan (d) pemborosan pemanfaatan ruang. Proses perkembangan perkotaan yang sangat komersial dan cenderung didasarkan pada mekanisme pasar bebas sekarang berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan baik secara ekonomis maupun sosial masyarakat kota seperti akses tanah untuk publik (terbatasnya tanah untuk kepentingan publik). Kesenjangan ini, apabila tidak ditangani secara serius akan berdampak pada maraknya gejolak dan pergeseran masyarakat kota yang bersifat destruktif (Lim et.al., 1987).

Berdasarkan dari kelima persoalan yang dipaparkan di atas tadi, paper ini mencoba menjawab pertanyaan umum mengenai manajemen tanah untuk permukiman perkotaan serta kemungkinan aplikasi GIS untuk menjembatani tercapainya tujuan manajemen tanah perkotaan yang progresif. Bahan diskusi mengenai manajemen tanah perkotaan, perlu kiranya dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan penting untuk dikaji lebih jauh dalam paper ini, yaitu: (1) Apa arti manajemen perkotaan, apa cakupannya dan mengapa manajemen tanah perkotaan untuk permukiman lebih krusial untuk dibahas?; (2) Bagaimanakah peran SIG dalam menunjang manajemen tanah perkotaan terutama untuk mengatasi persoalan permukiman?; (3) Apa prasyarat yang perlu disiapkan untuk dapat mengaplikasikan SIG secara optimal?; dan (4) Apakah SIG dapat mendukung tujuan utama manajemen tanah perkotaan untuk permukiman?